Penulis : Ika Wahyuningtyas
Editor : Khurotul Akyun Putri
Dua petarung dalam tradisi Mekare-kare atau biasa dikenal dengan Perang Pandan
(Foto: wisata-bali.com)
VOLKMEDIA, Bali - Dilansir dari fkossmpkotabali, Banyak tradisi unik dan menarik yang bisa disaksikan selama berada di Pulau Dewata Bali. Tradisi Perang Pandan Mekare-kare merupakan salah satunya.
Tradisi ini merupakan sebuah budaya leluhur yang berusaha dijaga secara turun temurun oleh masyarakat Bali yang tinggal di Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
Mekare-kare atau biasa disebut Mageret Pandan yang juga dikenal dengan istilah Perang Pandan Mekare-kare, merupakan rangkaian upacara keagamaan yang dilakukan ketika upacara Sasih Sembah digelar.
Upacara Sasih Sembah merupakan upacara besar yang diselenggarakan hanya sekali dalam setahun dan dilaksanakan pada sasih kelima (bulan ke-5) menurut penanggalan desa setempat. Sedangkan Mekare-kare dihelat selama dua hari dan dimulai pukul dua siang di halaman Balai Desa Tenganan.
Kaum pria menggunakan pakaian adat madya terdiri dari sarung, selendang, serta ikat kepala tanpa memakai baju atau bertelanjang dada. Sedangkan para perempuan memakai pakaian khas Tenganan yang berupa kain tenun Pegringsingan.
Seperti namanya Perang Pandan, maka senjata yang digunakan adalah pandan berduri yang diikat. Pandan ini sebagai simbol sebuah gada yang dilengkapi dengan sebuah perisai yang terbuat dari rotan yang dipakai untuk tameng.
Perang Pandan Mekare-kare hanya boleh diikuti oleh kaum pria yang mulai menginjak usia dewasa. Sebelum acara puncaknya dimulai, seluruh peserta berkeliling desa untuk memohon keselamatan.
Saat perang berlangsung, peserta berdiri berhadap-hadapan satu lawan satu. Setiap peserta membawa seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai pada tangan kiri serta seorang wasit berada ditengah-tengah kedua peserta.
Ketika aba-aba dimulai, kedua peserta dengan serta merta saling serang dengan saling merangkul sambil memukulkan pandan di punggung lawan. Sambil dipukulkan, pandan tersebut juga digosokkan atau digeretkan oleh karenanya disebut Upacara Mageret Pandan.
Tak terbayang bagaimana perihnya duri-duri pandan itu menancap dan melukai punggung-punggung peserta. Namun di sinilah letak adu nyali setiap peserta diuji. Mekare-kare ini hanya berlangsung selama satu menit diiringi dengan musik gamelan yang memacu semangat.
Semua peserta bergantian berperang dan prosesi ini berlangsung sekitar tiga jam. Selesai prosesi, luka di punggung peserta diobati dengan obat-obatan tradisional.
Luka-luka yang ada pada bagian tubuh yang terkena geretan duri daun pandan diobati dengan suatu cairan (boreh) yang dibuat dari jenis umbi tanaman, seperti lengkuwas dan kunir. Lengkuwas dan kunir ini diparut. Hasil parutannya dicampur dengan cuka.
Borehan tersebut kemudian dipulas pada bagian tubuh yang terluka. Pada awalnya memang terasa perih, namun tidak berlangsung lama. Setelah obat ramuan meresap sampai kering, bekas-bekas luka dari perang pandan menjadi kering. Luka akan sembuh tanpa ada bekasnya.
Setelah selesai perang, tak ada dendam sekalipun dalam hati tiap peserta karena Mekare-kare adalah tradisi untuk upacara persembahan yang harus dilakukan dengan tulus ikhlas.
Warga Desa Tenganan adalah penganut agama Hindu seperti kebanyakan masyarakat Bali pada umumnya. Namun yang menjadi dewa tertinggi mereka adalah Dewa Indra, berbeda dengan warga lainnya yang meyakini dewa Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.
Oleh karena itu, selain untuk menghormati para leluhur, Perang Pandan Mekare-kare ini dihelat sebagai penghormatan kepada Dewa Indra sebagai Dewa Perang.
Jika Anda sedang berkunjung ke Desa Adat Tenganan Pegringsingan dan menyaksikan Mekare-kare tersebut sedang dilangsungkan, maka akan menjadi sebuah pengalaman yang berharga dan tak terlupakan bagi Anda.
Comments